Jadi tanpa sengaja melihat-lihat kebun tetangga, dan saya dapati anak ini sedang diam termenung menatap halte bus di seberang. Saya kenal anak itu dengan baik, terlalu baik mungkin malah. Dan dia biasanya ceria, yah setidaknya jarang -- bahkan hampir tidak pernah -- semurung sekarang.
Jadi saya sapa dia dan bertanya sedang apa dia di situ. Dan dia dengan segala kemurungannya menjawab, "Seharusnya saya pulang. Pulang, dan tersenyum pada orang tua saya." Dan saya bertanya lagi, lalu kenapa kau tidak pulang? Dan jawabnya, "Saya berbuat bodoh. Dan saya tidak berani menatap mata kedua orang tua saya."
Dengan sedikit kebingungan, saya coba jelaskan, bahwa selama kita mencoba meminta maaf dan bersungguh-sungguh menyesalinya, dan jujur pada orang tua kita, semuanya akan baik-baik saja.
Dan dia berpaling pada saya dan berkata, "Sungguh, bukan amarah ataupun hukuman yang kutakutkan. Bukan pula tidak adanya maaf. Tapi sungguh tidak kuat aku melihat gurat kecewa dan rasa terluka di mata mereka."
Sesaat saya terhenyak dan kehilangan fokus. Ketika mencoba menatap kembali, anak tersebut telah hilang. Entah kemana, saya harap bertemu dengan orang tuanya.
Dan saat melihat sekeliling, saya sadar saya sudah berada di pintu kebun saya sendiri. Hampir melakukan kesalahan yang sama dengan anak tadi.
Dan saya paksa melangkah keluar dari pintu itu, untuk menghindar dari kesalahan tadi. Meski sulit dan penuh duri.
Karena saya tidak mau, dan tidak akan pernah mau, dan saya sangat takut, melihat gurat kecewa dan terluka di mata mereka.
Can We Transcend?
14 tahun yang lalu